BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
sebagai salah satu negara yang sedang berkembang dan membangun di segala bidang
tidak akan terlepas dari perkembangan perekonomian seperti negara berkembang
lainnya. Pembangunan di segala bidang tersebut mempunyai tujuan meningkatkan
produksi barang yang dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pembangunan ekonomi dengan tujuan tersebut butuh pembiayaan dengan prasarana
yang memadai. Semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di
Indonesia, maka semakin bertambah pula banyaknya tanah rakyat yang dipergunakan
untuk keperluan kegiatan ekonomi.
Negara
Indonesia sebagai negara demokrasi yang berkeadilan sosial maka pemanfaatan
tanah untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera merupakan tujuan
yang harus dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
Undang-Undang Dasar 1945. (Berita Republik Indonesia tanggal 15 Februari 1946).
Yaitu dalam pasal 33 ayat 3 yang berbunyi :
Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.[1]
Semakin
pesatnya pertumbuhan dan perkembangan fungsi tanah maka semakin meningkat pula
banyaknya tanah rakyat yang dipergunakan untuk keperluan kegiatan ekonomi.
Peralihan hak milik atas tanah sangat beragam, yang antara lain dengan jual
beli, sewa-menyewa, warisan, hibah dan lain-lain. Berkenaan dengan hal
tersebut, sangatlah diperlukan adanya jaminan kepastian hukum dan kepastian hak
dalam bidang pertanahan atau agraria.
Untuk
penghibahan diatur dalam Stb. 1847 No. 23 tentang Burgerlijk Wet Book (BW) atau
KUH Perdata Buku ke Tiga Titel X. Dan arti penghibahan menurut pasal 1666 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata adalah :
“Suatu persetujuan denganmana si
penghibah diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik
kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah, yang
menerima penyerahan itu”.[2]
Di
dalam hukum perdata tidak mengakui hibah dengan bentuk-bentuk lain selain hibah
dan orang yang masih hidup. Hibah hanyalah mengenai benda-benda yang sudah ada.
Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka mengenai
hibah tersebut akan menjadi batal.
Penghibahan
ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian “dengan cuma-cuma”, dimana
perkataan “dengan cuma-cuma” itu ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu
pihak saja, sedang pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontra prestasi
sebagai imbalan. Perjanjian yang demikian juga dinamakan perjanjian “sepihak”
(unilateral) sebagai lawan dari perjanjian “bertimbal-balik” (bilateral)[3].
Perjanjian pada umumnya adalah bertimbal balik, karena yang lazim adalah bahwa
orang yang menyanggupi suatu prestasi karena dia akan menerima suatu kontra
prestasi.
Perkataan
“diwaktu hidupnya” si penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dari
pemberian-pemberian yang dilakukan dalam suatu testament (surat wasiat), yang
baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah si pemberi meninggal dunia.
Dan setiap waktu selama si pemberi itu masih hidup, dapat dirubah atau ditarik
kembali olehnya. Pemberian dalam testament ini dalam KUH Perdata dinamakan “hibah
wasiat” yang diatur dalam hukum waris, sedangkan penghibahan menurut KUH
Perdata adalah suatu perjanjian. Karena penghibahan menurut KUH Perdata
tersebut adalah suatu perjanjian, maka sudah dengan sendirinya penghibahan
tersebut tidak boleh ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah.
Setiap
orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka
yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk menerima hibah tersebut.
Orang-orang
yang tidak diperbolehkan untuk menerima hibah antara lain adalah :
1.
Orang-orang yang belum dewasa. (Pasal
1676 KUH Perdata)
2.
Penghibahan antara suami istri selama
perkawinan, kecuali terhadap hadiah-hadiah atau pemberian-pemberian benda
bergerak dan bertubuh yang harganya tidak, terlalu tinggi menurut kemampuan si penghibah.
(Pasal 1677 KUH Perdata)
Didalam
Undang-Undang Pokok Agraria (U UPA) pasal 19 memberikan muatan kepada
Pemerintah untuk mengadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia. Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi
perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah
terdaftar dimana pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan
tersebut kepada Kantor Pertanahan.[4]
Untuk
pelaksanaan pendaftaran tanah yang diperoleh karena hibah disamping diatur dalam
PP No. 24 tahun 1997 juga diatur dalam Peraturan Kepala BPN NO. 2 tahun 1992
tentang biaya pendaftaran tanah, yang jelas berlandaskan kepada Tap VIPR No. IV/MPR/1999
Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Bab IV Arah Kebijakan huruf H, (Sumber
Daya Alam dan Lingkungan Hidup No. 4) menyebutkan bahwa :
Mendayagunakan sumber daya alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian
fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan,
kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang
pengusahaannya diatur dengan undang-undang.[5]
Selanjutnya
untuk melaksanakan pendaftaran tanah tersebut tentunya memakan waktu yang cukup
lama dan biaya yang besar, serta membutuhkan peralatan dan tenaga ahli
disamping peraturan perundang-undangan ikut menunjang terlaksananya pendaftaran
tanah diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia.
Ketentuan
wajib mendaftarkan hak milik atas tanah dan peralihannya yang terkandung di
dalam Undang-Undang Pokok agraria (UUPA) tersebut secara tegas diatur dalam :
Pasal
23 ayat 1 yang berbunyi :
“Hah
milik, demikian setiap peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak
lainnya harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang ada.”
Pasal
23 ayat 2 yang berbunyi :
“Pendaftaran
termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuk-tian yang kuat mengenai hapusnya
hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan tersebut.”
Dari
sedikit uraian diatas dapat kita lihat banyak masalah-masalah yang timbul dalam
kaitannya dengan masalah penghibahan tanah, yang diantaranya adalah bagaimana
peralihan hak milik atas tanah karena hibah, apakah akibat hukum dari
penghibahan tersebut, hambatan-hambatan apa saja yang timbul dalam praktek
penghibahan tanah.
Berdasarkan
bunyi pasal 23 tersebut telah ditetapkan bahwa hak milik demikian pula setiap
peralihannya, hapusnya dan pembebanannya dengan hakhak lain harus didaftarkan.
Hat ini dimaksudkan agar diperoleh kepastian hukum yang meliputi subyek hak,
obyek hak dan mengenai status hak atas tanahnya. Dengan demikian jelaslah adanya
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para pemegang hak untuk melaksanakan
pendaftaran hak milik atas tanah yang dimilikinya.
B. Alasan
Pemilihan Judul
Dari sedikit uraian tentang latar belakang masalah diatas,
cukup beralasan jika penulis memilih judul tentang: “Penghibahan Sebagai Salah
Satu Hukum Untuk Memperoleh Hak Milik Atas Tanah di Kabupaten Karanganyar”. (
Suatu Kajian Dari Sudut Hukum Agraria ).
Adapun alasan penulis memilih judul tersebut antara lain :
1.
Penulis beranggapan bahwa judul
tersebut merupakan masalah penting, karena hal ini berhubungan dengan usaha
untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup masyarakat knususnya penerima
hibah sebagai landasan untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
2.
Penulis menaruh perhatian terhadap
judul tersebut karena hal itu sangat berguna dalam meningkatkan pengetahuan
dalarn praktek di masyarakat, sehingga ingin mengkaji secara mendalam tentang
penghibahan sebagai salah satu dasar hukum untuk memperoleh hak milik atas
tanah di Kabupaten Karanganyar.
3.
Penulis tertarik pada judul tersebut
karena ingin mengungkapkan mengenai perjanjian hibah dan peralihan hak
penghibahan tanah sebagai salah satu dasar hukum untuk memperoleh hak milik
atas tanah dengan segala permasalahannya.
4.
Penulis memilih judul tersebut, karena
penulis sendiri berdomisili di wilayah kabupaten Karanganyar, sehingga akan
dapat mempermudah penelitian dan dapat mempersingkat waktu, tenaga serta biaya.
C. Pembatasan
Masalah
Untuk membatasi masalah dan mengarahkan penelitian agar
terdapat pengkhususan terhadap masalah-masalah yang diteliti dan agar tidak
menyimpang dari sasaran yang hendak dicapai serta tidak memberikan penafsiran
yang lebih luas mengenai masalah yang akan penulis bahas, maka penulis perlu
membatasi masalah sebagai berikut :
1.
Membahas tentang perjanjian dan
peralihan hak penghibahan sebagai salah satu dasar hukum untuk memperoleh hak
milik atas tanah.
2.
Akibat hukum dari penghibahan tanah di
Kabupaten Karanganyar.
3.
Membatasi lokasi atau tempat
diadakannya penelitian yaitu di Kabupaten Karanganyar.
D. Perumusan
Masalah
Untuk memudahkan dalam melakukan penelitian, maka perlu
merumuskan masalah yang akan diteliti agar lebih terarah, sehingga sasaran dan
tujuan dapat terwujud. Adapun permasalahan yang penulis sampaikan adalah
sebagai berikut :
1.
Bagaimana perjanjian dan peralihan hak
penghibahan sebagai salah satu dasar hukum untuk memperoleh hak milik atas
tanah di Kabupaten Karanganyar ?
2.
Apakah akibat hukum dari penghibahan
tanah di Kabupaten Karanganyar?
3.
Apa saja yang menjadi kendala dalam
praktek penghibahan tanah di Kabupaten Karanganyar, dan bagaimana cara
mengatasinya?
E.
Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan tentu mempunyai tujuan, demikian pula dengan
penelitian. Tujuan penelitian harus dikembangkan dengan jelas agar orang lain
mengetahui apakah sebenarnya yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut.
Dalam rangka mengadakan penelitian ini, penulis mempunyai tujuan sesuai dengan
pembahasan skripsi ini, yaitu sebagai berikut :
1.
Untuk mendapatkan data-data yang
berguna bagi penyusunan skripsi.
2.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas
mengenai perjanjian dan peralihan hak penghibahan sebagai salah satu dasar
hukum untuk memperoleh hak milik atas tanah di Kabupaten Karanganyar.
3.
Untuk mengungkapkan permasalahan-permasalahan
atau kendala-kendala yang timbul dalam praktek penghibahan sebagai salah satu
dasar hukum untuk memperoleh hak milik atas tanah di Kabupaten Karanganyar dan
bagaimana cara mengatasinya.
4.
Untuk mengembangkan daya penalaran dan
berfikir secara lebih dekat bagi penulis dalam bidang penelitian mengenai
penghibahan sebagai salah satu dasar hukum untuk memperoleh hak milik atas
tanah, serta untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang penulis peroleh selama
dalam perkuliahan.
[1]
Undang-Undang Dasar 1945 dan Butir-Butir Pancasila, PT.
Pabelan, Surakarta,1992, hal. 9.
[2]
R. Subekti dan R. Tjitrosudibiyo, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Pradnya Parairuta. Jakarta, 1990, hal. 305.
[3]
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni: Bandung, 1977, hal.
100.
[4]
DEPKEH, Bacaan Bagi Keluarga Sadar Hukum, Jakarta, DEPKEH
RI, 1998, hal.185.
[5]
Ketetapan
MPR No. IV/MPR/1999, Garis-Garis Besar Haluan Negara, Sinar Grafika, Jakarta,
Hal.36.
DAFTAR PUSTAKA
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Huhim dan Tata
Hukur;t Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, 1986.
DEPhEH, Bacaan Bagi Keluarga Sadar
Hukum, DEPKEH Pd, Jakarta, 1993•
H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyail: Jakarta, 1995. Helmi Karim, Fiqh Uuamatah, Rajawali Press:
Jakarta, 1993.
Ketetapan NIPR No. IV/VIPR,% 1999, Garis-Garis Besar #ialacart tVegara, Sinar Grafika:
Jakarta,1999.
M. Yahya Harapan, Segi-segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1982.
R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bak-ti: Bandung,1992.
R. Subekti dan R. "I
jitrosudibiyo, liitab
Flttdang Undang Huicurrc Perdata, Pradn_ya
Paramita: Jakarta, 1990.
R. Suryatin, Hukum Ikatan, Pradnya Paramita:
Jakarta, 1981.
Sutrisno Hadi, Afetodologi Reasearch I, Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM: Yogyakarta, 1984.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press: Jakarta, 1984. UUndang-Undang Dasar 1945 dan Butir-Butir Pancasila, PT. Pabelan:
Surakarta, 1992
Untuk mendapatkan file lengkap hubungi/ sms ke HP. 085725363887
Tidak ada komentar:
Posting Komentar