BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Bclakang Masalah
Hukum
adalah gabungan dari peraturan-peraturan yang hidup dan bersifat memaksa,
berisikan suatu perintah, larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu serta dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
Pada
hakikatnya, "Kejahatan itu sebenamya merupakan gejala sosial yang cukup
melelahkan dikalangan masyarakat bila tidak ditanggulangi dengan serius akan
menimbulkan dampak yang merugikan terhadap ketentraman dan rasa tidak nyaman
akan selalu menghantui setiap warga. Kejahatan juga menunjuk kepada tingkah
laku yang bertentangan dengan Undang-Undang, baik berupa ancaman saja maupun
sudah merupakan tindakan nyata dan memiliki akibat-akibat kerusakan terhadap
harta benda, fisik, bahkan kematian seseorang".[1]
Penegakan
hukum merupakan proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi
kenyataan. Keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran
badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum
itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini menjangkau pula sampai
pada pembuatan hukum yang terus berkembang seiring dengan perkembangan
teknologi dan perekonomian dewasa ini. Hal ini menuntut peran masyarakat dalam
berinteraksi sosial semakin memngkat, oleh karena itu tentunya
aktivitas-aktivitas yang ada menjadi beragam, bahkan memancing adanya tindak kriminalitas
yang terjadi di setiap harinya. Peran penegak hukumjelas-jelas tidak akan bisa
lepas dari hal ini, sehingga menuntut diciptakaimya berbagai macam peraturan
untuk dapat menciptakan ketertiban di dalam masyarakat.
"Secara
konseptual hukum pidana merupakan ultimum remedium (the last resort - sarana
pamungkas) dalam penggunaannya sebagai sarana penanggulangan problema sosial
berupa kejahatan. Kejahatan sebagai salah satu konsep dan kategori perilaku
manusia merupakan salah satu tema sentral di dalam hukum pidana. Posisi hukum
pidana di pandang sebagai subsider, yang membawa konsekuensi bahwa pemerintah
seharusnya mendahulukan penggunaan sarana hukum lain selain pidana".[2]
Dengan
kata lain sebelum pemerintah memberlakukan hukum pidana dalam menyelesaikan
suatu problem yang terjadi dalam masyarakat, sebaiknya menggunakan hukum lain
terlebih dahulu seperti hukum perdata dan hukum admmistrasi, apabila
hukum-hukum tersebut tidak mampu, barulah hukum pidana diberlakukan. Jadi di
sini berkaitan dengan langkah-langkah kriminalisasi.
Dalam
pelaksanaan hukum pidana, faktor perkembangan masyarakat dapat digunakan untuk
mendatangkan keputusan hukum yang dapat memberikan keputusan yang adil dan
kebenaran sejati pada semua pihak.
Mencari
kebenaran atas semua peristiwa yang disebabkan oleh perbuatan manusia itu
adalah sulit dan tidak mudah karena dalam suatu peristiwa sering terjadi adanya
kekurangan, dan tidak lengkapnya suatu alat bukti maupun saksi, sehingga para
petugas penyidik harus bekerja lebih keras dalam mengumpulkan bukti-bukti yang
sah untuk mendapatkan kebenaran yang selengkap-lengkapnya dalam mengusut atau
menyelidiki suatu tindak pidana yang sebenamya. Dalam pembuktian acara pidana
setidak-tidaknya harus terdapat dua alat bukti yang sah sebagai dasar rnenjatuhkan
pidana bagi terdakwa (Pasal 183 KUHAP).
Menurut
Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), disebutkan bahwa alat
bukti yang sah adalah:
1.
Keterangan saksi;
2. Keterangan
ahli;
3. Surat;
4.
Petunjuk;
5.
Keterangan terdakwa.[3]
Alat
bukti tersebut merupakan suatu alat untuk membuktikan, suatu upaya untuk dapat
menyelesaikan hukum tentang kebenaran dalil-dalil dalam suatu perkara yang pada
hakikatnya harus dipertimbangkan secara logis. Dalam contoh kasus tindak pidana
seperti pencurian, penggelapan, penipuan dan sejenisnya, petugas penyidik
menggunakan beberapa metode pencarian barang bukti; salah satunya adalah
melalui Dactyloscopy (ilmu tentang sidik jari) yaitu suatu hasil
reproduksi tapak-tapak jari, yang menempel pada barang-barang di sekitar tempat
kejadian perkara (TKP).
Kata
Dactyloscopy berasal dari bahasa Yunani; Dactylos yang
berarti jari dan Scopium yang berarti melihat, meneliti,
mempelajari. Pertama kali di kembangkan oleh Francis Galton, yang pada tahun
1888 mengadakan kerjasama dangan Sir William Herschell melakukan penyelidikan
secara ilmiah mengenai pola-pola garis-garis jari dan menyusun satu sistem
untuk membagi-bagi dan mengenai jenis orang.
"Diperlihatkan,
bahwa sidik jari itu lebih
dari sifat ilmu urai (morphologie) dan dikemukakannya empat hal terpenting
untuk dapat menegaskan identitas seseorang: tetap, tegas, berbagai ragam dan
mudah untuk mendaftar dan menyusun"[4]
Pembuktian
dengan menggunakan metode Dactyloscopy memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak
dimiliki oleh metode lain, salah satunya adalah bahwa sidik jari seseorang
bersifat permanen, tidak berubah selama hidupnya, gambar garis papilernya tidak
akan berubah kecuali besarnya saja, selain itu juga memiliki tingkat akurasi
paling tinggi di antara metode lain, maka baik pelaku, saksi, maupun korban
tidak dapat mengelak. Tidak seperti metode yang menggunakan keterangan saksi
yang bisa saja pelaku, saksi maupun korban dapat berbohong atau memberikan
keterangan palsu kepada penyidik dalam mengungkap tindak pidana.
"Pemakaian sidik jari
untuk identifikasi telah berkembang di seluruh dunia, terutama di negara-negara
maju. Keringat yang terdapat ditelapak dan jari-jari akan menimbulkan jejak
pada objek yang dipegang atau disentuh. Berkaitan dengan itu maka Dactyloscopy
atau ilmu tentang sidik jari telah mendesak metode identifikasi lainnya karena
sangat praktis dan akurat"3[5]
Pengetahuan
tentang sidik jari latent bagi masyarakat umum masih terbilang asing dan belum
banyak orang yang mengetahui tentang kegunaan dan sidik jari dalam mengungkap
suatu tindak pidana bukanlah suatu hal yang berlebihan, karena dapat kita lihat
bahwa dalam kenyataannya proses pengungkapan kasus di negeri ini belumlah
terbiasa menjadikan sidik jari latent sebagai alat bukti yang diharuskan kehadirannya
pada proses persidangan, di lain sisi kejahatan terus-menerus berkembang seiring
dengan berkembangnya masyarakat dan tekhnologi yang membuat para pelaku
kejahatan semakin lihai dalam memutar balikkan kebenaran yang ada dan membuat
bingung para penegak hukum.
Pelaku kejahatan berusaha:
1.
Hindari orang yang melihat,
2.
Hilangkan barang-bukti,
3.
Usaha lain untuk tidak diketahui orang
lain[6].
Maka
dari itu kita sebagai masyarakat pada umumnya dan para penegak hukum khususnya
dirasa perlu mempelajari setidaknya mengetahui tentang ilmu sidik jari dan
turut bekerja sama dan berperan aktif dalam rangka penanggulangan tindak pidana
yang terjadi dewasa ini. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis
tertarik untuk mengangkat judul: "FUNGSI DACTYLOSCOPY BAGI PENYIDIK
DALAM MENGUNGKAP TINDAK PIDANA"
B. Pembatasan Masalah
Untuk
lebih memfokuskan pembahasan dalam suatu penelitian diperlukan pembatasan
masalah, dengan adanya pembatasan masalah pembahasan tidak akan meluas. Pembatasan
masalah dalam penelitian ini yaitu:
1.
Pembahasan dikhususkan pada tindak
pidana kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Tindak pidana yang dibahas adalah tindak
pidana kejahatan yang memerlukan alat bukti sidik jari.
3.
Pemeriksaan sidik jari dilakukan
terhadap pelaku atau korban tindak pidana.
C.
Perumusan Masalah
Agar
tercapainya tujuan penelitian maka terlebih dahulu harus dilakukan identifikasi
terhadap permasalahan yang diteliti dan dibahas.
Sesuai
latar belakang masalah dan pembatasan masalah diatas maka penulis merumuskan
masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana fungsi Dactyloscopy
(ilmu tentang sidik jari) bagi penyidik dalam mengungkap tindak pidana?
2.
Hambatan-hambatan apa yang dihadapi
penyidik dalam mengungkap tindak pidana dengan menggunakan ilmu Dactyloscopy?
D.
Tujuan Penelitian
Dalam
pelaksanaan penelitian ini tujuan yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui fungsi Dactyloscopy
bagi penyidik dalam mengungkap tindak pidana.
2.
Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa
saja yang dihadapi penyidik dalam mengungkap tindak pidana dengan menggunakan
ilmu Dactyloscopy.
E.
Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat
memberikan masukan yang positif bagi perkembangan dunia hukum, khususnya hukum
acara pidana mengenai fungsi Dactyloscopy bagi penyidik dalam mengungkap
tindak pidana.
2.
Manfaat Praktis
Bagi aparatur pemerintah,
dapat memberikan data tentang fungsi Dactyloscopy bagi penyidik dalam
mengungkap tindak pidana.
Bagi masyarakat, sebagai
tambahan pengetahuan dalam memahami di bidang hukum mengenai pembuktian di
pengadilan.
F.
Landasan Teori
Tempat
Kejadian Perkara (TKP) sering juga disebut sebagai tempat dimana kejahatan itu
terjadi dan diketemukannya barang-barang bukti dari adanya suatu tindak
pidana."Tempat kejahatan merupakan sumber pertama untuk memperoleh
bukti-bukti guna penyidikan perkara lebih lanjut".[7]
Setelah
para penyidik Polri tiba di TKP hendaknya ia melakukan tindakan pertama di
tempat kejadian perkara yaitu untuk mengamankan dan menutup TKP jangan sampai
keadaannya berubah, menolong korban jika ada,
dan melakukan 'identifikasi'
untuk penyelidikan lebih lanjut.
"Pegawai
polisi/pegawai penuntut umum (jaksa-pembantu dan sebagainya) yang datang
ditempat kejadian khusus mengurus perkara kejahatan, mempunyai dua kewajiban
penting, yaitu:
1.
Menangkap/menahan tersangka.
2.
Menyimpulkan bukti-bukti agar dengan
demikian tesangka dapat dihukum"[8].
Salah
satu metode identifikasi manusia adalah dengan penerapan dactyloscopi yang ternyata
cukup efektif dan lebih praktis.
Dalam prakteknya sidikjari
dapat dipakai misalnya untuk:
1.
Mencari dan mengenal penjahat pelarian,
pelarian nara pidana, orang-orang asing yang telah diusir ke luar negeri,
mencari penjahat yang telah dikenal menurut laporan dan pengakuan saksi-saksi;
2.
Pemberitahuan tentang orang-orang yang
dilaporkan hilang kepada sanak saudaranya;
3.
Mencari penjahat yang belum dikenal,
tetapi telah mendapat ciri-ciri dan tanda- tanda dari saksi-saksi[9].
"Sidik
jari adalah hasil reproduksi tapak-tapak jari, baik yang sengaja diambil maupun
bekas yang ditinggalkan pada benda karena terpegang atau tersentuh dengan kulit
telapak tangan atau kaki".[10]
Pengetahuan tentang sidik jari memberikan
sumbangan besar sekali dalam bidang kriminalistik (ilmu penyidikan kejahatan),
karena dalam ilmu penyidikan perkara kejahatan, rumus sidik jari yang identik
dianggap sebagai suatu alat bukti yang sah untuk mengambil keputusan salah tidaknya
tuduhan terhadap tersangka di muka pengadilan. Alur-alur papiler yang membentuk
sidik jari, tenyata setelah diadakan penelitian berpuluh-puluh tahun oleh para
ahlinya memiliki sifat-sifat yang meyakinkan, ialah:[11]
a.
Sidik jari yang dibentuk oleh
alur-alur papiler pada setiap orang berbeda satu sama lain, meskipun mereka
kakak beradik atau saudara kembar. Juga pada seseorang tidak akan diketemukan
sidik jarinya yang sama satu dengan yang lain diantara kesepuluh jarinya
sendiri.
b.
Gambar sidik jari pada seseorang tidak
akan berubah bentuknya dari lahir sampai mati, walaupun pada saat-saat tertentu
kulit jari mengalami perubahan misalnya pembaharuan kulit dll. Gambarnya hanya
dapat berubah, karena keadaan yang tidak wajar, misalnya jari terbakar, terpotong,
teriris pisau, atau rusak sedemikian rusak sehingga bentuk papiler berubah,
yang dapat berubah besar-kecilnya gambar sidik jari, misalnya sidik jari bayi
kemudian tumbuh menjadi besar setelah dewasa.
G.
Metode Penelitian
"Penelitian
adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
ilmu pengetahuan. Usaha tersebut dilakukan dengan menggunakan metode
ilmiah".[12] Penelitian juga dapat digunakan untuk
memecahkan masalah-masalah atau persoalan-persoalan tertentu dimulai dengan
ditemukannya masalah, setelah diteliti akhimya disimpulkan.
Adapun
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Metode Pendekatan
Metode
pendekatan yang digunakan dalam penelitian mi adalah pendekatan yang bersifat
yuridis-empiris yaitu maksudnya adalah bahwa penelitian ini ditujukan terhadap
peraturan-peraturan nonnatif tentang penyidikan tindak pidana khususnya
penerapan ilmu dactiloscopy, kemudian bagaimana pengaruhnya di
masyarakat.
2.
Jenis Penelitian
Dalam
penelitian ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, yang
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang seteliti mungkin tentang fungsi dactiloscopy
dalam penyidikan tindak pidana.
3.
Lokasi Penelitian
Dalam
penyusunan penelitian ini, penulis mengambil lokasi di Kepolisian Resort
Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah.
4.
Jems Data
Pada penelitian ini penulis
menggunakan sumber data:
a.
Data primer
Merupakan data yang yang
diperoleh dan lokasi penelitian yang berupa data empiris. Data ini diperoleh
secara langsung dari sumber
di Kepolisian Polres Sukoharjo.
b.
Data sekunder
Merupakan data yang tidak
berkaitan secara langsung yang dapat mendukung data primer. Dalam penelitian
ini data sekunder adalah sejumlah data yang terdapat dalam buku-buku literatur,
dokumen, berkas kasus, berbagai macam perundang-undangan dan sumber lain yang
berhubungan dengan fungsi dactiloscopy dalam mengungkap tindak pidana.
5.
Metode Pengumpulan Data
"Pengumpulan
data harus ditangani secara serius agar diperoleh hasil yang sesuai dengan
kegunaan yaitu pengumpulan variabel yang tepal".[13]
Untuk mendapatkan data dari sumber data
yang telah disebutkan tersebut, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan
teknik pengumpulan sebagai benkut:
a.
Wawancara
Teknik wawancara
dipergunakan penulis untuk mendapat data primer dengan teknik wawancara struktur
dengan pedoman pada daftar pertanyaan yang telah disusun.
Wawancara dilakukan
terhadap penyidik dan ahli dactyloscopi di Polres Sukoharjo.
b.
Studi kepustakaan
Studi kepustakaan atau studi
dokumen dipergunakan sebagai alat
pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara membaca, mencatat, mengkaji dan mempelajari sumber-sumber tertulis
lainnya seperti buku-buku kepustakaan, laporan penelitian, arsip-arsip dan
dokumen lamnya.
6.
Metode Analisis Data
Agar
suatu tulisan ilmiah mampu mencapai tujuan, terlihat sistematis, serasi dan
logis, maka diperlukan suatu analisa data yang baik. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan analisa kualitatif yang dilaksanakan melalui tahapan-tahapan sebagai
berikut: pengumpulan data, mengklasifikasikan,
menguhubungkannya dengan teori dan masalah yang ada, kemudian menarik kesimpulan
guna menentukan hasilnya.
"Analisis
kualitatif adalah suatu tekhnik analisis terhadap data yang dinyatakan
responden dan juga perilakunya yang nyata sebagai sesuatu yang utuh"[14]
Penulis
memperoleh data dari responden baik secara lisan/tulisan dan selanjutya
dianalisa secara kualitatif, langkah berikutnya basil analisa data itu dicari
hubungannya dengan data yang ada dan disusun secara logis, sistematis danyuridis
Dengan
kata lain, bahwa seorang peneliti yang menggunakan metode kualitatif, tidaklah
semata-mata bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran belaka. Akan tetapi untuk
memahami kebenaran tersebut, memahami gejala-gejala atas dasar pendapat pribadi dari orang tersebut
dan menafsirkan
keadaan-keadaan yang dihadapinya.
H.
Sistematika Skripsi
Dalam
penyusunan skripsi ini sitematikanya dibagi menjadi empat bab. Adapun
sitematika tersebut adalah sebagai berikut:
Bab
I PENDAHULUAN, yang membahas mengenai latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan
teori, metode penelitian, dan sistematika skripsi.
Bab
II TINJAUAN PUSTAKA, yang mengenai tinjauan umum tentang sidik jari yang di
dalainnya terdapat pengertian sidik jari, sistem sidik jari, tata cara pengambilan
sidik jari. Dilanjutkan dengan tinjauan
tentang penyidik, yang di dalamnya membahas tentang pengertian penyidik,
pengertian penyidikan dan tugas dan wewenang penyidik, kemudian diakhiri dengan
tinjauan tentang tindak pidana.
Bab
III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
dalam bab ini terdiri dari uraian tentang fungsi dactyloscopy bagi
penyidik dalam mengungkap tindak pidana dan hambatan-hambatan yang dihadapi
penyidik dalam mengungkap tindak pidana dengan menggunakan dactyloscopy.
Bab
IV PENUTUP yang didalamnya merupakan kesimpulan dan saran yang menjadi penutup
dari skripsi ini.
[1]
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco,
Bandung, 1992, hal 5
[2]
Natangsa Surbakti, Kembang Setaman Kajian Filsafat Hukum,
Surakarta, UMS, hal. 80
[4]
Karjadi M, Sidik Jari Sistem Henry Sistem Baru Yang Diperluas,
Politeia, Bogor, 1976. Hal 1
[5]
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana. Sapta Arthajaya, Jakarta, 1984,
hal. 13
[7]
R. Soesilo, Kriminalistik (Ilmu Penyidikan Kejahatan), Politeia,
Bogor, 1976, hal. 18
[8] M Karjadi, Tindakan dan
Penyidikan Pertama Ditempat Kejadian Perkara, Politeia, Bogor, 1981, Hal.25
[10]
N. Yudhana, Penuntun Dactyloscopy.
Pusat Identifikasi, Jakarta, 1993, hal. 1
[12]
Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Penerbit Andi Offset,
Surabaya, 1989, hal.4
[13]
Suharsini Ankunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, Jakarta,
1989, hal.37
[14]
Soerjono Soekamto, Pengantar Petielitian Hukum, UI Press.
Jakarta, 1990, hal. 20
DAFTAR PUSTAKA
Arikunlo.
Suharsimi, 1989, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara,
Jakarta.
Atmasasmita,
Romli, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Eresco, Bandung.
Chazawi,
Adam, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Radja Giafindo Persada, Jakarta.
Hadi,
Sutrisno, 1989, Metodologi research I,
Audi Offset, Surabaya.
Hainzah,
Audi, 1984, Huhum Acara Pidana, Sapilia Artha Jaya, Jakarta.
I
Ketut, Murtika, 1992, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka
Cipta, Jakarta.
Lamintang,
1982, Dasar-Dasar Pidana Indonesia, Cetakan I, Sinar Baru, Bandung.
M
Karjadi, 1976, Sidik Jari Sistem Henry, Sistem Baru Yang Diperluas, Politeia,
Bogor.
Moelyatno,
1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta
Prakoso,
Djoko, 1988, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, Yogyakarta.
Prodjodikoro,
Wirjono, 1986, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Eresco, Bandung.
Purnomo,
Bambang, 1982, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Soekamto,
Soerjono, 1990, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta.
Soesilo
R, 1976, Kriminalistik (llmu Penyidikan Kejahatan), Politeia, Bogor.
Surbakti, Natangsa, Kembang,
Setaman, Kajian Filsafat Hukum, Surakarta, UMS.
Sudarto, 1980, Hukum Pidana
Jilid 1A, Badan Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas
Hukum
UNDIP Semarang.
Utrecht, 1986, Hukum
Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.
Yudhana, I.N., 1993, Penuntun
Dactyloscopy, Pusat Identifikasi, Jakarta.
____________,1984,
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Anela llmu, Semarang.
____________, 2003, Materi Rakernis Sie
Ident Dit ResKrim, Semarang.
____________, 1981, Tindakan dan
Penyidikan Pertama Ditempat Kejadian Perkara, Politeia, Bogor
____________, 2003, Undang-Undang No. 2 Tahun 2002,
Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Fokus Media, Bandung.
REFENSI LAINNYA
Untuk mendapatkan file lengkap hubungi/ sms ke HP. 085725363887
KEMBALI KE HALAMAN AWAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar